Budaya

Jejak Gasing di Lantai Aga Khan

Nisita.info – Di tengah hiruk pikuk Dialog Budaya “Sadak Taka 2025,” Wakil Wali Kota Samarinda, H. Saefuddin Zuhri, malam itu melontarkan pertanyaan yang menusuk relung nostalgia. Bukan hanya tentang pentingnya menjunjung adab di mana bumi dipijak, tetapi tentang pelepah pisang dan bambu kecil yang kini tergantikan oleh layar gawai.

Ia mengenang masa di mana permainan tradisional seperti gasing, igrang, dan patelele menjadi bagian tak terpisahkan dari keseharian anak-anak Samarinda. Sebuah tradisi sederhana, namun kaya akan interaksi dan kearifan lokal.

“Sekarang anak-anak lebih banyak main HP. Padahal pelepah pisang dan bambu kecil dulu bisa jadi mainan seru. Itu tradisi yang harus kita hidupkan lagi,” katanya sambil tersenyum, menggarisbawahi bagaimana gempuran era digital perlahan mengikis adab dan etika berinteraksi dengan lingkungan.

Saefuddin Zuhri menghubungkan hilangnya permainan tradisional dengan komitmen Pemkot menghidupkan kembali Citra Niaga. Kawasan yang dulu pernah meraih Aga Khan Award for Architecture—sebuah pengakuan dunia terhadap arsitektur humanis—kini direvitalisasi bukan sekadar untuk fungsi ekonomi, tetapi sebagai ruang yang memuliakan budaya, seni, dan masyarakatnya.

Revitalisasi ini adalah upaya merebut kembali ruang publik yang dapat digunakan sebagai arena bermain dan berinteraksi yang sarat nilai, seperti yang dulu terjadi secara alami. Wawali berharap, semangat penghargaan Aga Khan Award tersebut dapat dihidupkan kembali, menjadikan Citra Niaga sebagai panggung kolaborasi, tempat akulturasi seperti Paguyuban Sijaka (Silaturahmi Keluarga Jawa Kalimantan) dapat terus tumbuh.

Bagi Wawali, menjaga budaya lokal tak melulu soal festival besar (seperti Festival Budaya Dayak Kenyah di Pampang yang ditargetkan naik kelas internasional), tetapi juga soal hal kecil: adab dan sopan santun.

Ia mengingatkan, melunturkan adab sama saja dengan menghilangkan rasa hormat terhadap lingkungan, yang pada dasarnya adalah bagian dari kebudayaan itu sendiri.

“Tidak mungkin pemerintah bekerja sendiri. Kalau masyarakat ikut bergerak, Insyaallah budaya kita akan terus lestari dan tidak tergilas arus modernisasi,” pungkasnya, menggarisbawahi bahwa untuk melihat kembali anak-anak bermain gasing di ruang publik yang humanis, dibutuhkan kolaborasi semua pihak, mulai dari keluarga hingga pemerintah. Ini adalah panggilan untuk menyelamatkan warisan, sebelum pelepah pisang dan bambu hanya tinggal cerita.(SEN/DON/KMF-SMR)

Related Posts

1 of 5