Oase

Tari Pesisir: Pilar Budaya Kalimantan yang Berakar dari Sungai dan Laut

Nisita.info – Kalimantan, dengan kekayaan budaya yang membentang dari hutan pedalaman hingga lautan, memiliki tiga pilar utama dalam warisan seni tarinya. Ada budaya pedalaman (Dayak), keraton (Kutai), dan pesisir.

Di antara ketiganya, Tari Pesisir memainkan peran krusial sebagai cerminan peradaban yang tumbuh subur di sepanjang jalur air.

Pentingnya pemahaman ini ditekankan dalam kegiatan Pengolahan Tari Hari ke-2 yang digelar UPTD Taman Budaya Provinsi Kalimantan Timur di Gedung Bahimung pada Selasa (21/10/2025).

Narasumber Agus Setiaji menjelaskan bahwa budaya pesisir lahir dari kehidupan masyarakat yang tinggal di sepanjang pesisir Sungai Mahakam, yang menjadi cikal bakal peradaban masyarakat pesisir Kaltim.

Tari pesisir di Kalimantan memiliki karakteristik khas yang membedakannya dari tarian pedalaman (Dayak) yang cenderung ritualistik dan ekspresif. Tarian ini kental dengan nuansa Melayu dan Islam, karena wilayah pesisir adalah gerbang masuknya budaya luar melalui jalur perdagangan.

Fungsinya umumnya bersifat tarian pergaulan atau tarian penyambutan yang ditampilkan dalam pesta pernikahan, penyambutan tamu, dan acara rakyat. Gerakannya cenderung anggun, lemah lembut, dan dinamis, seringkali meniru aktivitas atau makhluk hidup di laut atau sungai, dengan iringan musik menggunakan instrumen khas Melayu seperti Tingkilan, yang memberikan irama riang dan luwes.

Tari pesisir ini mewujud dalam berbagai bentuk di berbagai wilayah. Contoh paling ikonik adalah Tari Jepen dari Kalimantan Timur, yang diiringi musik Tingkilan dan mencerminkan perpaduan budaya lokal, Melayu, dan Islam di wilayah Kesultanan Kutai.

Di Kabupaten Berau, terdapat Igal Linggisan, tarian Bajau dari pesisir Derawan dan Maratua yang meniru gerak burung camar laut (Linggisan), melambangkan kesetiaan dan kebersamaan. Sementara itu, di Kalimantan Tengah, dikenal Tari Pesisir Batatai yang menggambarkan puncak acara pernikahan Suku Bakumpai di aliran Sungai Barito.

Agus Setiaji berharap, pemahaman yang mendalam mengenai akar budaya pesisir ini dapat mendorong para peserta workshop untuk berkreasi.

“Harapan saya, peserta dapat memahami apa itu tari pesisir, mengapa bentuk tarian ini bisa terbentuk, serta mengenal produk-produk tari pesisir yang ada. Dari pemahaman itu, mereka bisa menciptakan bentuk-bentuk gerak baru yang tetap berakar dari tari pesisir itu sendiri,” jelas Agus

Workshop yang merupakan bagian dari upaya pelestarian UPTD Taman Budaya Kaltim ini menargetkan agar hasil pengolahan tari tersebut dapat ditampilkan pada pembukaan Festival Kudungga pada 27 Oktober 2025 mendatang, sekaligus memperkenalkannya kembali kepada masyarakat luas.(Hmd/dfa)

Related Posts

1 of 4