Olah Pikir

Langkah Kecil, Harapan Besar: Menjaga Mental Remaja Hingga ke Sudut Terpencil

Nisita.Info — Remaja merupakan kelompok usia yang rawan mengalami gangguan kesehatan mental akibat tekanan fisik, psikologis, dan sosial. Setiap remaja berhak mendapatkan perhatian khusus dalam menjaga kesehatannya, termasuk kesehatan mental, terutama bagi para remaja yang sedang dalam masa pencarian jati diri dan menghadapi berbagai perubahan emosional, sosial, dan fisik.

Namun sayangnya, tidak semua remaja di Indonesia memiliki kesempatan yang sama. Di daerah terpencil Indonesia, perhatian terhadap kesehatan mental masih belum maksimal. Di sana, layanan kesehatan mental yang memadai masih sangat minim bahkan hampir tak terjangkau.

Banyak remaja yang belum mendapatkan akses layanan yang memadai, sehingga permasalahan kesehatan mental yang mereka alami sering tidak tertangani dengan baik. Isu ini penting karena kesehatan mental yang tidak tertangani dapat berdampak jangka panjang pada pendidikan, produktivitas, dan kesejahteraan sosial.

Mengapa hal ini bisa terjadi? Berdasarkan Survei I-NAMHS 2023, sekitar 33% remaja Indonesia mengalami masalah kesehatan mental, dengan prevalensi depresi dan kecemasan yang signifikan. Studi di daerah terpencil mengungkap prevalensi depresi remaja hingga 5,65% akibat akses layanan yang sangat terbatas dan kurangnya tenaga kesehatan mental terlatih. Jarak yang jauh dari fasilitas kesehatan, kurangnya tenaga profesional yang menguasai kesehatan mental, dan kurangnya edukasi tentang kesehatan mental menjadi penghambat utama.

Dari sisi kebijakan, Indonesia sebenarnya sudah memiliki  dasar hukum yang mengatur pelayanan kesehatan jiwa melalui Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 dan Permenkes Nomor 75 Tahun 2016 tentang Pelayanan Kesehatan Jiwa. Regulasi ini menegaskan kewajiban pemerintah untuk menyediakan layanan kesehatan mental dan melakukan perlindungan bagi warga negara.

Namun, implementasi di lapangan, terutama di daerah terpencil, masih menghadapi tantangan besar terkait ketersediaan sumber daya dan infrastruktur.

Dalam menghadapi masalah kesehatan mental remaja di daerah terpencil, kita perlu mengambil langkah kecil dan bertahap yang sesuai dengan kondisi dan keterbatasan di sana. Pendekatan ini mengikuti model kebijakan inkremental dari Charles E. Lindblom, yang fokus pada perubahan sedikit demi sedikit daripada perubahan besar sekaligus.

Model ini mengakui keterbatasan waktu, biaya, dan informasi, sehingga solusi yang diambil harus realistis, mudah diterima, dan memanfaatkan potensi lokal. Intinya, perbaikan dilakukan secara perlahan tapi pasti, agar hasilnya lebih efektif dan berkelanjutan.

Langkah pertama yang bisa ditempuh adalah memperkuat kapasitas tenaga kesehatan lokal. Misalnya, pelatihan bagi bidan, kader kesehatan, dan petugas Puskesmas agar bisa mengenali tanda-tanda gangguan kesehatan mental sejak dini dan melakukan intervensi awal. Tenaga non spesialis ini bisa menjadi ujung tombak pelayanan kesehatan mental di desa yang jarang dikunjungi psikolog atau psikiater.

Selain itu, pemanfaatan teknologi informasi juga menawarkan alternatif solusi yang menjanjikan. Misalnya, membangun sistem rujukan digital dan platform telekonseling sederhana yang bisa diakses oleh remaja di desa, sehingga mereka dapat konsultasi dengan tenaga ahli meskipun secara fisik jauh dari pusat layanan. Inovasi tersebut sudah mulai dikembangkan dan terbukti membantu menjembatani kesenjangan layanan.

Winna Azura (Mahasiswa Universitas Mulawarman Samarinda)

Edukasi dan penyuluhan merupakan kunci utama untuk menurunkan stigma yang masih melekat pada isu kesehatan mental. Dengan melibatkan tokoh masyarakat, tokoh agama, dan keluarga agar remaja dan keluarganya merasa aman mencari bantuan.

Pendekatan yang berlatar komunitas ini sangat penting untuk menciptakan lingkungan yang inklusif dan suportif.

Tentunya, kesuksesan penanganan perlu kerja sama berbagai pihak, mulai dari pemerintah, tenaga kesehatan, masyarakat, keluarga, hingga organisasi sosial, agar pelayanan lebih efektif dan jangkauannya luas.

Penanganan kesehatan mental remaja di daerah terpencil memang tidak mudah dan tidak bisa diselesaikan dalam satu langkah besar. Namun dengan kejelian melihat masalah, pendekatan bertahap yang berlandaskan aturan hukum yang ada, serta kolaborasi antarpelaku di lapangan, harapan besar tetap ada. Setiap remaja di Indonesia, di mana pun mereka berada, berhak mendapatkan masa depan yang sehat dan penuh harapan. (Penulis: Winna Azura (Mahasiswa Universitas Mulawarman Samarinda)

Related Posts

1 of 3