Oleh: Rinda Aprilia Putri *)
MASALAH utama terkait maraknya penyalahgunaan AI di Indonesia adalah munculnya berbagai bentuk tindak kejahatan seperti penipuan dan pemalsuan yang memanfaatkan teknologi AI, khususnya deepfake yang memungkinkan pembuatan foto dan video palsu yang sangat meyakinkan. Misalnya, pemalsuan bukti transfer bank yang dapat menipu nasabah dengan bukti palsu yang nyaris sempurna, serta penyebaran konten asusila atau manipulasi video para tokoh publik untuk fitnah.
Masalah ini diperparah oleh fakta bahwa regulasi mengenai AI di Indonesia saat ini masih sangat minim dan belum ada payung hukum komprehensif yang mengatur penggunaan AI secara spesifik sehingga pengawasan dan tata kelola AI belum terkoordinasi dengan baik.
Data menunjukkan Indonesia memiliki tingkat adopsi AI tertinggi di Asia Tenggara yakni 24,6 persen menurut studi International Data Corporation (IDC) Asia-Pacific Enterprise Cognitive/AI Survey 2018, namun regulasi yang mengatur AI masih sebatas peraturan sektoral yang belum terintegrasi. Pemerintah baru akan merilis regulasi komprehensif AI pada September 2025 yang fokus pada sektor spesifik seperti kesehatan, pendidikan, dan layanan pemerintah.
Model yang digunakan dalam masalah regulasi penyalahgunaan AI di Indonesia adalah model regulasi adaptif berbasis prinsip keadilan, kepastian hukum, dan etika yang responsif terhadap perkembangan teknologi.
Model ini menekankan pentingnya pembentukan kerangka hukum nasional yang inklusif dan kontekstual, bukan sekadar mengadopsi langsung model etika global, melainkan menyesuaikan dengan kondisi sosial budaya dan kelembagaan Indonesia.
Dalam model ini, regulasi bersifat sektoral namun saling melengkapi, dengan fokus pada perlindungan data, keamanan, akuntabilitas, dan transparansi dalam penggunaan AI. Model ini bertujuan mengurangi ketidakpastian hukum dan memperjelas tanggung jawab hukum bagi para pelaku usaha AI yang dapat menimbulkan dampak negatif sosial dan hukum.
Dengan pendekatan ini, Indonesia diharapkan dapat mengembangkan kebijakan AI yang adaptif, etis, dan bisa menyeimbangkan inovasi teknologi dengan perlindungan hak individu dan keamanan publik.
Dua alternatif kebijakan utama untuk mengatasi masalah ini adalah:
1. Membuat Peraturan Presiden (Perpres) komprehensif yang mengatur keamanan, etika, dan tata kelola AI secara lintas sektor untuk meminimalkan risiko penyalahgunaan sekaligus mendorong inovasi teknologi.
2. Mengembangkan kebijakan kolaboratif antara pemerintah, industri, akademisi, dan masyarakat untuk merancang regulasi inklusif disertai edukasi publik dan penguatan infrastruktur data yang aman.(*)

*) penulis adalah Mahasiswa S1 Administrasi Publik, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Mulawarman Samarinda.















