BAGI Rina (bukan nama sebenarnya), media sosial adalah pisau bermata dua yang perlahan merenggut ketenangan batin dan jejaring sosialnya. Di satu sisi, ia terus-menerus membandingkan dirinya dengan standar tubuh yang tidak realistis dari konten negatif body shaming, membuat ia merasa rendah diri dan menarik diri dari pergaulan teman-temannya.
Di sisi lain, ketidakmampuannya memverifikasi informasi membuatnya dengan mudah membagikan hoaks provokatif tentang salah satu kelompok ekstrakurikuler di sekolah. Tindakan spontan itu berujung fatal, ia dicap sebagai penyebar fitnah, menciptakan konflik, dan akhirnya dikucilkan oleh lingkungan sosialnya sendiri.
Rina mendapati dirinya terperangkap dalam lingkaran isolasi yang diakibatkan oleh kecemasan psikologis dan perpecahan sosial, bukti nyata betapa cepatnya informasi digital yang tidak tersaring dapat menghancurkan kehidupan seorang remaja.
Untungnya, Rina hanya nama samaran dan bukan murid SMA 5 Samarinda. Namun, kisah Rina menjadi pengingat serius bagi ratusan pelajar yang mengikuti pembekalan literasi digital hari itu, Kamis (16/10/2025).
Di era digital yang serba cepat, para pelajar dituntut untuk bijak dalam bermedia sosial. Itulah semangat yang diusung dalam kegiatan “Sosialisasi Anti Hoaks dan Konten Pornografi di Media Sosial bagi Pelajar” yang digelar di SMA Negeri 5 Samarinda.
Kegiatan yang diinisiasi oleh Dinas Komunikasi dan Informatika Provinsi Kalimantan Timur (Diskominfo Kaltim) ini bertujuan untuk mencegah pelajar menjadi korban maupun pelaku penyebaran informasi palsu yang dapat merusak mental dan hubungan sosial mereka.
Kepala Diskominfo Kaltim, Muhammad Faisal, mengingatkan bahwa hoaks bukanlah hal baru, hanya cara penyebarannya yang kini semakin cepat karena teknologi. “Hoaks sudah ada sejak zaman Nabi Adam. Bedanya, sekarang kita hidup di era digital, di mana informasi menyebar dalam hitungan detik. Dulu satu isu mungkin hanya terdengar di satu kampung, sekarang bisa mendunia lewat satu klik,” tuturnya.
Faisal menjelaskan, dampak hoaks tidak bisa dianggap remeh. Ia mencontohkan bagaimana kabar palsu dapat menimbulkan kebencian, perpecahan, bahkan konflik antarnegara. Menurutnya, literasi digital bukan sekadar kemampuan menggunakan teknologi, tetapi juga kemampuan berpikir kritis dan bertanggung jawab dalam menyebarkan informasi.
“Gara-gara isu palsu, ada negara yang perang, ada saudara yang bermusuhan, dan ada masyarakat yang terpecah hanya karena percaya tanpa memverifikasi. Kita semua, termasuk adik-adik pelajar, harus menjadi bagian dari solusi, bukan bagian dari masalah. Jangan ikut menyebarkan hoaks, tapi jadilah penangkalnya. Jadilah generasi yang bisa menebar kebenaran dan kebaikan di dunia maya,” ujarnya.
Kepala SMAN 5 Samarinda, Budiono, menyambut baik kegiatan ini. Ia berpesan agar siswa memanfaatkan momen ini untuk belajar. “Handphone itu ibarat pisau, bisa bermanfaat jika digunakan dengan benar, tapi berbahaya bila disalahgunakan,” pesannya, berharap siswa menjadi agen literasi digital yang menebarkan nilai positif di masyarakat.(*/cht/pt)















