Di balik kemeriahan pesta adat Erau yang identik dengan pertunjukan kolosal, terdapat serangkaian ritual sakral yang menjadi fondasi utamanya. Salah satu yang paling fundamental adalah Upacara Beluluh, sebuah ritual kuno yang dijalankan oleh Sultan Kutai Kartanegara Ing Martadipura sebagai tanda dimulainya seluruh rangkaian acara. Lebih dari sekadar seremoni, upacara ini adalah perwujudan dari filosofi mendalam tentang pembersihan diri dan permohonan keselamatan.
Pada Kamis (18/09), suasana khidmat menyelimuti Kedaton Kesultanan. Sultan Aji Muhammad Arifin duduk di atas Balai, sebuah struktur tiga tingkat yang terbuat dari bambu kuning. Balai ini bukan sembarang tempat duduk; ia adalah simbol dari tiga tingkatan alam, mewakili hubungan antara manusia, alam semesta, dan Sang Pencipta. Duduk di atasnya, Sultan seolah terangkat dari dunia fana, bersiap untuk menjalani ritual pensucian.

Prosesi ini dipimpin oleh seorang Belian (tokoh spiritual laki-laki) yang melantunkan doa-doa. Kemudian, seorang Dewa (tokoh spiritual perempuan) menyiramkan air bunga ke tubuh Sultan. Air bunga melambangkan kesucian dan harapan akan kesuburan, mencerminkan keinginan agar Kesultanan senantiasa diberkahi dan terhindar dari segala hal negatif.
Menurut Kerabat Kesultanan, Pangeran Noto Negoro, upacara Beluluh memiliki makna inti sebagai ritual pembersihan diri. “Setelah menjalani ritual ini, Sultan tidak diperkenankan menginjak tanah secara langsung hingga seluruh rangkaian Erau berakhir,” jelas Pangeran Noto Negoro. Larangan ini bukan sekadar aturan, tetapi sebuah simbolisasi bahwa Sultan telah “disucikan” dan dijaga dari segala kotoran duniawi demi memimpin ritual dengan hati yang bersih dan fokus.

Dalam pandangan Kesultanan, Erau adalah manifestasi syukur dan permohonan keselamatan untuk seluruh rakyat. Upacara Beluluh menjadi pintu gerbangnya, memastikan bahwa pemimpinnya telah benar-benar siap secara spiritual untuk memulai hajatan besar tersebut. Kehadiran para pejabat pemerintahan dan masyarakat dalam prosesi ini juga menegaskan bahwa nilai-nilai sakral tersebut tetap relevan dan dihormati, menjadi perekat yang menghubungkan masa lalu dengan masa kini.(*/Prokom04)
Foto: Ig prokomkukar